Indonesia Vs Malaysia We Are One Forever
Info penerimaan mahasiswa baru IDIA Prenduan tahun akademik 2010-2011 silahkan klik di sini
Ya Allah Jangan Kau Coba Aku Melebihi Batas Mampu Dan Sanggupku

KETIKA RASA MALU DAN HORMAT MENGHILANG

Selasa, 05 Oktober 2010

Kirim ini ke Facebook Anda..

www.tips-fb.com

Oleh : Fajar Firmansyah*
“ Engkau tampakkan kepada kami rasa kasih sayang-Mu dengan segala nikmat-Mu, tapi kami membalasnya dengan dosa- dosa. Turunkan kepada kami kebaikan-Mu, tapi yang naik kepada-Mu malah kejelekan kami.”

Begitulah kira-kira sebuah perkataan yang mengandug hikmah dari Imam Ali Zainal Abidin, anak dari cucu Rosulullah SAW Husain bin Ali bin Abi Tholib. Telah begitu banyak kebaikan yang diberikan Allah kepada kita, tapi seakan akan kita menutup mata, menutup telinga, apakah kita tidak malu dengan hal itu. Berhubungan tentang malu jadi teringat sebuah kisah yang pernah aku baca.

“ Tidak tau malu, kamu!” Haji karim marah marah sama Karna, menantunya .
“ Sudah aku beri makan siang malam. eh....
Giliran kasih modal, kalau kerja, amblas, itu modal !!”
Haji Karim pantas marah-marah kepada menantunya ini, karena mamang ia tidak bekerja, bahkan cenderung malas. Andai tidak melihat Karna ini sudah memberikan cucu, mungkin jauh-jauh hari sudah di PHK jadi mantu. Lima Tahun berlalu, kerjaan Karna seperti layaknya seorang anak ABG yang belum menikah, main melulu. Bahkan belakangan ini, kelakuannya sudah hampir nyerempet-nyerempet ke perkara perdata dan pidana.
Suatu saat, lantaran kasihan dan sayang kepada si Karna ini, Haji karim memberikan Karna modal. Modal yang diberikan kepada Karna tersebut adalah hasil dari jual empangnya empat petak, dikawasan Tanggerang pinggir. Cuma ya itu, modalnya habis dan tidak ketahuan buat apa. Yang lebih menyakitkan lagi, belakangan ketahuan, ternyata si Karna ini menggunakan sebagian uangnya untuk kawin lagi. Jelas, kalau kita menempati posisi Pak Karim, tentu akan meledak pula Amarah kita. Bahkan mungkin lebih. Bagi haji karim, sama saja dengan ia membiayai menantunya kawin lagi !.
Ikhwani wa Akhwati fillah, tentunya masih banyak lagi cerita-cerita seputar malu mempermalukan yang terjadi dilingkungan masyarakat kita, malu dan mempermalukan merupakan sebagaian bagian dari upaya dan jasa seseorang yang tidak menghargai budi orang lain. Hal ini sering juga dikaitkan dengan tidak adanya rasa tahu diri pada seseorang yang tidak tahu malu atau hilangnya rasa terima kasih atau rasa syukur pada diri seseorang. Allah menggariskan bahwa keberadaan ajaran-Nya adalah untuk menempatkan manusia pada posisi yang mulia, posisi yang berbeda dengan makhluk Allah yang lain. Sebagaiman dalam firmanNYa didalam surat Al-Tin ayat 4-5: “ Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya keaadaan. Kemudian kami mengembalikannya kepada keadaan yang serendah rendahnya, kecuali orang-orang beriman dan beramal saleh”.
Penempatan ini lantaran manusia diberi daya pikir yang dapat menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Penempatan ini juga menjadi sebuah kehormatan yang Allah berikan dengan terus mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya. Pengabdian terhadap petunjuk yang telah Allah gariskan akan menyebabkan manusia kehilangan kehormatan, baik kehormatan dimata manusia maupun kehormatan dimata Allah.
Hilangnya kehormatan, utamanya, disebabkan oleh hilangnya rasa malu. Dan biasanya, rasa malu itu akan hilang jika nafsu dikendalikan oleh hati yang busuk dan fikiran yang kotor. Hati dan fikiran seperti ini tidak akan dapat lagi mengendalikan organ-organ fisik dengan baik secara Naluri Ilahiyyah karena kendali fisik sepenuhnya berada dikawasan perut dan kemaluan. Manusia yang kehilangan rasa malu akan melebihi liarnya seekor binatang. Na’udzubillah.
Dalam khazanah kaum Sufi, rasa malu tertinggi adalah ketika kita bisa memiliki rasa malu kepada Sang Maha Pengasih. Yakni rasa malu apabila mempertontonkan pengabdian yang buruk, padahal Allah telah memberikan kasih sayang-Nya yang luar biasa kepada kita semuanya. Atau, perasaan malu tidak pernah berbakti kepada Allah yang telah memberikan kehidupan, sedangkan Allah tidak pernah berhenti mencurahkan karunia- karunia-Nya.
Perasaan malu yang demikian itu bisa mencegah kita berbuat sembarangan dan bisa mendorong kita untuk mempersembahkan prilaku yang baik-baik kepada-Nya. Menurut Imam Ghozali, beribadat bahkan akan lebih mulia bila timbulnya dari rasa malu, bukan dari rasa takut. Penahanan terhadap perbuatan maksiat akan lebih bermakna apabila diperoleh dari rasa malu.
Ya, mulai sekarang malulah kepada Allah, malulah kita apabila kita menjadi manusia yang kikir, bila kita bisa berfikir bahwa kita terlahir dari ketiadaan, dan bahwa semua fasilitas, semua yang kita punya, hanya dari Allah semata. Apalagi kalau jika dibarengi kesadaran bahwa kita akan mati dengan ketiadaan pula. Sepantasnya kita merasa malu apabila kita tidak pernah membagi sesuatu yang diberikan Allah kepada orang lain. Dan alangkah baiknya bila rasa malu sudah menjadi standar moral dihati kita, hal ini akan menahan kita untuk tidak terus mempertontonkan kemaksiatan dihadapan Allah Yang Maha Melihat, ditengah derasnya kasih dan sayang-Nya yang diberikan oleh-Nya.
Begitu banyak hikmah yang bisa kita gali dan kita petik sebagai kembang dari rasa malu ini. Sifat malu pada akhirnya akan mengajarkan tentang hakikat keberadaan kita sebagai manusia. Ia juga akan mengajarkan kepada kita tentang hakikat Allah sebagai Tuhan Kita, sebagai Khaliq yang merajai segala hal.
Mari kiat tumbuhkan dan kembangkan sifat yang satu ini agar menjadi penghias hati. Karena rasa malu akan menjaga kita dari sifat-sifat yang tercela dan tentunya akan mendatangkan kebaikan. Kita akan merasa malu kalau tidak berbuat kebaikan dan kita akan sangat malu bila kita tidak pernah memberikan pengabdian yang baik sebagai manusia. Ada sebuah nasehat dari shohabat Ali RA : “Perbesar rasa malumu, niscaya ia akan menyelamatkanmu”. Dalam hadist juga dikatakan bahwa malu merupakan bagian dari Iman.
Imam Ali bin Abi Tholib yang memiliki julukan Karamallahu Wajhah. Julukan ini konon diberikan lantaran ia memiliki rasa malu yang tinggi. Sehingga dikabarkan untuk melihat kemaluannya sendiri pun beliau enggan saking malunya. Luar biasa! Sekarang bandingkan dengan kita, kelakuan kita sebagai manusia. Tanpa rasa malu kita mengumbar kemaluan kita. Tanpa rasa malu, kita juga sering menikmati hadirnya kemaluan-kemaluan orang lain. Tanpa rasa malu pula kita sering mempertontonkan hal yang seharusnya menjadi wilayah yang tidak seharusnya diperlihatkan.
Akhirnya berdasarkan Nasehat dari Imam Ali tersebut kita bisa mengatakan dengan sedikit bercanda, “Perbesar rasa malu, jangan memperbesar kemaluan.” Maksudnya, jangan biarkan kendali nafsu berada pada titik kemaluan, juga perut. Supaya kita berbeda dengan binatang.
Adalah fitrah, bahwa perut dan kemaluan mempunyai kebutuahan. Tapi, marilah kita layani kebutuhan perut dan kemaluan dengan cara terhormat. Adalah fitrah bahwa manusaia butuh hiburan ditengah-tengah kehidupan yang keras dan kadang membosankan. Tapi, marilah kita cari hiburan–hiburan yang tidak akan mempermalukan kita kelak dihari tiada pertolongan kecuali pertolongan-Nya. Dengan cara itu , kita akan dianggap sebagai manusia. Bukan saja oleh sesama manusia, tapi juga Allah SWT. Wallahu a’lam.
*Mahasiswa Semester IV
Asal Pekalongan Jawa Tengah


“Perbesar rasa malumu, niscaya ia akan menyelamatkanmu”
(Ali bin Abi Tholib)

Artikel Terkait



0 komentar:


Profil lengkap


HELO SOBAT BLOGGER MAMPIR SINI YACH..Hp:087850265023 KEPADA SEGENAP PENGUNJUNG SAYA UCAPKAN TERIMA KASIH SUDAH MENGISI ABSEN HADIR DISNI, DAN MOHON MAAF JIKA SAYA TERLAMBAT MEMBALAS KUNJUNGAN ANDA....
Sekalian follow yach!! i will follow u back ok??